Selasa, 13 Oktober 2015

HISTORISITAS HIJRAH DAN KONTEKS KEKINIAN

Secara etimologis, hijrah berarti pindah ke negeri lain. Hijrah yang dimaksudkan di sini ialah pindahnya Nabi Muhammad dan kaum muslimin dari Makkah ke Madinah[1] Nabi Muhammad terlebih dulu memerintahkan kaum muslimin untuk hijrah, sementara beliau sendiri tidak akan keluar tanpa izin Allah. Peristiwa hijrah Nabi, bermula dari Makkah pada malam Kamis tanggal 1 Rabi’ul Awwal (sekitar 16 Juni 622) dan sampai di Madinah sebelum waku Zhuhur, hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal yang bertepatan tanggal 28 Juni 622 M.[2]

Hijrah yang berarti perpindahan dianggap sebagai salah satu ibadah dengan nilai pahala yang tinggi. Dalam banyak ayat al-Qur’an Allah menjelaskan kemuliaan ibadah ini dan menjanjikan ganjaran yang berlipat ganda kepada mereka yang berhijrah. Sebab, selain kesulitan yang dihadapi seorang muhajir baik kesulitan karena meninggalkan negeri asal, kesulitan di negara baru dan banyak hal lain, hijrah juga dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara agama dan risalah Ilahi yang terakhir ini.

Di sisi lain, hijrah secara garis besarnya mengandung dua pengertian, yaitu 1) Hijrah yang berkaitan dengan aktivitas fisik, yaitu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk mensyi’arkan agama Allah. Ini bisa disebut hijrah lahiriyah dan 2) Hijrah dalam artian berpindah dari hal-hal yang dilarang AllahI. Ini bisa disebut hijrah maknawiyah.

Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Hijrah

Latar belakang terjadinya hijrah ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:

Pertama, bertambah dahsyatnya siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin yang lemah. Proses dakwah secara sembunyi-sembunyi ini berlangsung selama tiga tahun, sampai akhirnya Allah menurunkan ayat yang berisi perintah untuk secara terbuka menyampaikan risalah ilahi ini kepada umat.

Dengan berdiri di atas sebuah bukit, Rasulullah bertanya kepada kaumnya, “Wahai sekalian suku Quraisy, jika akan katakan bahwa di belakang bukit ini ada pasukan musuh yang datang menyerang, apakah kalian akan mempercayai kata-kataku?” Mereka menjawab, “Ya, pasti, sebab engkau adalah orang yang paling jujur.” Rasulullah berkata lagi, “Jika demikian, ketahuilah bahwa aku membawa risalah dan ajaran dari Tuhan untuk kalian semua.” Rasulullah menjelaskan risalah yang beliau pikul kepada kaum Quraisy. Akan tetapi berbeda dengan pernyataan awal mengenai kejujuran Muhammad al-Amin, kali ini kaum Quraisy yang dimotori oleh para pemukanya yang kafir semisal Abu Sufyan, Abu Jahal dan lainnya menuduh putra Abdullah ini telah membuat kebohongan besar.

Sejak saat itulah, dakwah kepada agama Islam dilakukan secara terbuka. Seiring dengan sambutan orang-orang yang berhati bersih kepada ajaran ini, sikap penentangan dan permusuhan kaum kafir terhadap ajaran ilahi ini juga semakin meningkat. Para pemuka Quraesy yang merasa posisi dan kedudukan mereka terancam dengan adanya ajaran ilahi ini, serta merta megambil sikap frontal terhadap Muhammad, para pengikut dan ajarannya. Dengan memanfaatkan kedudukan, uang dan kekuatan, kaum kafir melakukan penyiksaan terhadap para pengikut ajaran islam.

Bilal bin Rabbah bekas budak Umayyah bin Khalaf, juga Yasir, istrinya Sumayyah dan anaknya Ammar adalah contoh dari kaum muslimin lemah yang menjadi korban penyiksaan. Bahkan Sumayyah dan Yasir gugur syahid setelah menjalani penyiksaan kaum kafir Quraisy yang tidak mengenal batas kemanusiaan. Sementara Ammar terpaksa mengeluarkan kata-kata syirik dari mulutnya meski hatinya tetap memegang teguh keimanan.

Gangguan kaum kafir Quraisy tidak hanya ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi juga kepada pemimpin dan Nabi pembawa risalah, Muhammad bin Abdillah. Hanya saja, gangguan itu tidak seberapa karena sikap Abu Thalib yang mati-matian membela Muhammad dan ajarannya. Bagaimanapun juga, Abu Thalib adalah figur yang sangat dihormati oleh kaum Quraisy di Makkah. Berkali-kali para pembesar Quraisy mendatangi Abu Thalib agar menghentikan aktifitas dakwah Muhammad yang menistakan berhala dan mengajak masyarakat kepada Tuhan yang esa. Meski demikian, Abu Thalib tetap pada pendiriannya untuk membela Muhammad dan ajarannya. Sikap Abu Thalib ini telah menyulut kemarahan para pembesar Quraisy yang lantas memutuskan untuk memboikot Bani Hasyim dan para pengikut ajaran Islam.[3]

Kedua, pemboikotan ekonomi. Di Makkah, kaum kafir Quraisy semakin kalap, kala menyaksikan jumlah mereka yang masuk agama Islam semakin bertambah. Pembesar-pembesar Makkah semisal Hamzah bin Abdul Muththalib juga telah mengumumkan keislamannya. Hal ini membuat para pemuka Quraisy berpikir untuk membunuh Nabi Muhammad. Akan tetapi membunuh Muhammad tidaklah mudah. Sebab, bagaimanapun juga, bani Hasyim yang termasuk kelompok bangsawan Quraisy tidak akan setuju.

Quraisy membujuk Abu Thalib yang dipandang sebagai pelindung utama Rasulullah agar bersedia menerima uang tebusan dua kali lipat dari tebusan biasa, dan membiarkan Muhammad dibunuh. Pembunuhnya akan dipilih dari orang di luar Quraisy. Dengan demikian, pembunuhan atas diri Muhammad tidak akan berbuntut pada perang saudara di Makkah. Usulan tersebut dipandang Abu Thalib sebagai tanda keseriusan Quraisy untuk membunuh Nabi. Akhirnya Abu Thalib memanggil seluruh anggota keluarga bani Hasyim agar berkumpul di lembah Abu Thalib untuk melindungi Muhammad dari upaya teror yang direncanakan Quraisy terhadapnya.

Bulan Muharram tahun ke-7 kenabian, kaum kafir Quraisy menyusun sebuah perjanjian yang berisi pemboikotan terhadap Bani Hasyim. Berdasarkan perjanjian ini, segala bentuk jual beli, pernikahan dan hubungan dengan bani Hasyim dilarang. Pemboikotan ini telah menyebabkan bani Hasyim yang berada di lembah atau syi’b Abu Thalib kesulitan mendapatkan bahan pangan dan keperluan hidup lainnya.

Pemboikotan ini dimaksudkan untuk memaksa bani Hasyim khususnya Abu Thalib, agar bersedia menyerahkan Muhammad kepada Quraisy untuk dibunuh. Tekad mereka untuk menghabisi Nabi terakhir ini, sedemikian kuat sehingga Abu Thalib memperkuat penjagaan atas diri Rasulullah. Di malam hari, Abu Thalib memerintahkan salah seorang dari bani Hasyim untuk tidur di pembaringan Rasulullah, demi menjaga keselamatan Nabi bergelar al-Amin ini.

Kondisi serba sulit ini berlangsung selama tiga tahun. Selama itulah, mereka yang berada di dalam Syi’b bergelut dengan rasa lapar dan keterasingan. Pekik tangis anak-anak bayi dari keluarga bani Hasyim yang kelaparan terkadang terdengar sampai ke luar lembah itu. Bagi sebagian orang Quraisy, keadaan ini sungguh menyiksa batin mereka. Karena itu, mereka sepakat untuk mencabut boikot atas bani Hasyim.[4]

Ketiga, meninggalnya orang-orang yang dekat dengan Nabi. Tahun sepuluh kenabian, setelah bani Hasyim keluar dari Syib Abu Thalib dan terlepas dari pemboikotan, Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid, paman dan istri Nabi yang selama ini menjadi pelindung dan pembela risalah kenabian, meninggal dunia. Wafatnya kedua manusia agung ini menjadi pukulan berat bagi Nabi. Betapa tidak, di saat kaum Quraisy berniat membunuh beliau, Abu Thalib siap berkorban untuk melindungi Rasulullah. Di saat kaum kafir memboikot Nabi secara ekonomi, Khadijah menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Tahun 10 kenabian disebut oleh Rasulullah sebagai ‘amul huzn yang berarti tahun kesedihan karena kepergian dua insan pembela risalah kenabian.

Setelah Abu Thalib dan Khadijah wafat, dan setelah menyaksikan penentangan kaum Quraisy, Nabi pergi ke kota Thaif untuk mengajak warga di kota itu kepada agama Islam. Tetapi warga Thaif menyambut Nabi dengan lemparan batu dan cacian. Akibat kekurangajaran warga Thaif, malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan meminta izin untuk menghukum mereka. Tetapi nabi yang oleh Allah disebut sebagai orang yang penyayang ini menolak sambial mengatakan, “Ya Allah ampunilah kaumnya, karena mereka tidak mengetahui kebenaran yang aku bawa.

Hakekat Hijrah

Hijrah bukanlah suatu tindakan pengecut dan melarikan diri dari tanggung jawab sebagaimana tuduhan kaum orientalis. Akan tetapi tindakan yang penuh tanggungjawab dan perhitungan didasarkan atas berbagai pertimbangan, Pada hakikatnya, hijrah merupakan suatu strategi perjuangan. Dengan hijrah, berarti menguak harapan baru dalam rangka menyusun strategi selanjutnya untuk menegakkan dan menyebarkan agama Allah di muka bumi.

Menurut Nurcholish Madjid, hijrah merupakan turning point perjuangan Rasulullah, yaitu bila di Makkah selama 13 tahun beliau hanya berhasil mengajak para sahabat yang jumlahnya sangat sedikit, akan tetapi setelah di Yastrib perjuangan beliau meningkat pesat, sehingga kota tersebut menjadi kota yang sangat berperadaban. Itulah sebabnya kemudian namanya berubah menjadi Madinah [5]



Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hijrah Nabi

Dalam menegakkan kebenaran diperlukan pengorbanan yang besar.[6] Ada kisah menarik tentang hal ini. Ketika Abu Bakar mendengar bahwa Allah memerintahkannya untuk berhijrah, ia langsung beli dua ekor unta. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Rasulullah. Akhirnya terjadilah dialog berikut:

“ Aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku”

“Unta ini kuserahkan untukmu”

“Baiklah, tapi aku akan membayar harganya”

Akhirnya Abu Bakar menyerah dan setuju menjual unta tersebut kepada Nabi, meskipun awalnya ia bersikeras untuk memberikannya sebagai hadiah. Rasulullah tampaknya ingin memberikan pelajaran bahwa untuk mencapai sebuah usaha yang besar dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang.[7]

Di lain pihak, peristiwa hijrah juga mengajarkan tentang makna hidup manusia. Hal itu dapat dilihat pada kesediaan Ali bin Abi Thalib untuk menggantikan tidur di tempat pembaringan Nabi untuk mengelabuhi kaum musyrik, yang pada dasarnya adalah menyerahkan jiwa raganya demi membela agama Allah. Di sini sesungguhnya menarik, apa sesungguhnya hidup dalam pandangan agama Islam. Demi tegaknya agama Allah, maka hidup pun siap menjadi taruhannya.

Dalam Islam, Hidup bukan sekedar menarik dan menghembuskan nafas. Ada orang-orang yang telah terkubur, tapi dalam al Qur’an tetap dinamai “orang yang hidup dan mendapat rizki” (QS Ali’Imran [3]: 169)

“Dan janganlah kamu kira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, padahal sesungguhnya mereka itu tatap hidup dan mendapat rezeki” (QS Ali’Imran [3]: 169)

Demikian suga sebaliknya, ada orang-orang yang masih menarik dan menghembuskan nafas, tapi dalam al-Qur’an disebut sebagai orang-orang mati (QS Fâthir [35]: 22)

“Dan tidaklah sama antara orang yang hidup dengan orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada mereka yang dikehendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat memebrikan pendengaran kepada orang-orang yang sudah mati” (QS Fâthir [35]: 22)

Dua ayat tersebut menggambarkan bahwa kehidupan manusia adalah berkesinambungan dengan kehidupan di akhirat, sehingga ia dituntut untuk mempersiapkan sebaik mungkin.

Peristiwa hijrah juga mengajarkan tentang urgensi tawakal dan usaha dalam Islam.[8] Hal terlihat ketika Abu Bakar dan Nabi di Gua Tsur dan para pengejar sudah berdiri di mulut gua, Abu Bakar sangat gentar dan gusar. Nabi kemudian menenangkannya yang diabadikan dalam al-Qur’an:

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[9]” (QS al-Taubah [9]: 40)

Ketika Rasulullah telah bulat tekadnya hendak meninggalkan kota Makkah dan berangkat ke Madinah, maka turunlah wahyu ilahi dalam bentuk do’a yang sangat indah:

“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara yang baik, dan keluarkan lah aku dengan cara yang baik pula, dan jadikanlan aku di sisimu kekuasaan yang menolong” (QS al-Isrâ’ [17]: 80)

Persaudaraan antara kelompok Muhajirin dan Anshar merupakan contoh persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) yang ideal, sehingga bisa dijadikan model untuk pengembangan konsep ukhuwah Islamiyah pada masa-masa sekarang dan mendatang.

Proses Penetapan Tahun Baru Hijriyah

Penetapan tahun baru Hijrah menjadi pegangan bagi kaum muslimin di seluruh dunia dimulai di masa Khalifah Umar bin Khattab memerintah (13-23 H/634 – 644 M).[10] Khalifah Umar bin Khaththab yang pertama kali mengambil prakarsa untuk penetapan tahun baru hijriyah. Sebelum itu, di Arab telah mempunyai penanggalan tetap, tapi belum mempunyai perhitungan tahun, Penanggalan atau perhitungan tahun bagi bangsa Arab, biasanya dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masayarakat, seperti badai topan, banjir, gempa bumi dan sebagainya, karena bangsa Arab belum mempunyai tahun yang pasti, maka kelahiran Nabi Muhammad r disebut sebagai “tahun gajah”, karena berbarengan dengan kejadian penting datangnya tentara yang mengendarai gajah di bawah pimpinan Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah

Sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, perhitungan tahun didasarkan atas pengangkatan beliau menjadi Rasul, seperti tahun pertama karasulan, tahun kedua kerasulan dan seterusnya. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, perhitungan tahun didasarkan atas peristiwa-peristiwa penting dalam perkembangan agama Islam, misalnya tahun pertama dinamakan tahun adzan, karena tahun itu disyari’atkan adzan. Tahun kedua dinamakan tahun berperang. Tahun ketiga dinamakan tahun puasa, dan demikian seterusnya, sesuai dengan kejadian penting yang berhubungan dengan perkembangan Islam yang terjadi pada tahun itu.

Banyak usulan yang dikemukakan kepada Umar bin Khaththab t dalam penetapan tahun baru itu, di antaranya ialah sebagai berikut:
Ada yang mengusulkan tahun baru dihitung dari tahun kelahiran Nabi
Ada yang mengusulkan dihitung sejak hari turunnya wahyu pertama
Ada yang mengusulkan dihitung sejak kemenangan waktu perang Badar
Ada yang mengusulkan dari berbagai peristiwa penting yang dialami Nabi

Umar bin Khaththab menilai bahwa pristiwa hijrahlah yang paling penting, karenanya dijadikanlah sebagai perhitungan tahun bagi ummat Islam, Adapun penetapan bulan Muharram sebagai awal bulan (bulan pertama) pada tahun hijiriyah, karena bulan inilah Rasulullah mulai bulat tekadnya untuk berhijrah, dengan kilasan peristiwa sebagai berikut:

Pada musim haji tahun 620 – 621 M, bangsa Arab Jahiliyah setiap tahun melakukan upacara haji, tapi sudah menyimpang dari syari’ah Nabi Ibrahim dan Ismail beberapa tokoh umat Islam Madinah telah menyatakan sumpah setianya kepada Nabi Muhammad dan bersedia membelanya mati-matian, bila mana beliau hijrah ke Madinah. Sumpah setia (bai’at) itu berlangsung di suatu lembah bernama lembah ‘Aqabah, sehingga dikenal dengan “bai’at ‘Aqabah pertama”

Setelah acara pembaiatan selesai, utusan kaum Anshar pulang ke Madinah. Rasulullah. Mengikutsertakan salah seorang kepercayaannya untuk berangkat bersama-sama ke Madinah, yaitu Mush’ab bin Umair, dengan tugas yaitu pertama, menyaksikan pertumbuhan Islam di Madinah dan kedua, mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk dan mengajarkan hukum-hukum agama kepada mereka, sehingga penduduk Madinah menggelarinya sebagai “al Muqri” (ahli baca al-Qur’an)

Mush’ab berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, dan beliau kembali ke Makkah setahun kemudian, yaitu menjelang musim haji berikutnya, dan melaporkan kepada Rasulullah tentang sambutan penduduk Madinah terhadap Islam, Ia menyampaikan berita gembira kepada Rsulullah bahwa di Madinah orang berbondong-bondong masuk Islam.

Dia mengatakan pula bahwa Rasululah akan menyaksikan sendiri kenyataan yang menggembirakan bahwa akan datang utusan ummat Islam Madinah pada musim haji tahun ini. Utusan yang datang dari Madinah itu sudah mengetahui siksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullah saw serta para pengikutnya, dan mereka berjanji akan bertemu kembali di ‘Aqabah untuk melakukan bai’at yang kedua kalinya

Menurut sebagian riwayat, utusan itu berjumlah 70 orang, sementara riwayat lain mengatakan berjumlah 73 orang pria dan 2 orang wanita, yaitu Nasibah binti Ka’ab dan Asma’ binti Amr bin ‘Adiy. Dalam bai’at ‘Aqabah yang kedua ini, Rasulullah meminta 12 orang dari mereka sebagai wakil dari masing-masing kabilah dalam rombongan, sehingga dari mereka terpilih 9 dari kabilah Khazraj dan 3 dari kabilah Aus. Kepada mereka Rasulullah bersabda:

أنتم على قومكم بما فيهم كفلاء ككفلة حواريين لعيسى ابن مريم و أنا كفيل على قومي (الحديث)

“Selaku pemimpin dari masing-masing kabilahnya, kalian bertanggungjawab atas keselamatan kabilahnya sendiri-sendiri, sebagaimana Hawariyyin (12 orang murid Nabi Isa ) bertanggungjawab atas keselamatan Isa putra Maryam, sedangkan aku bertanggung jawab atas kaumku sendiri (yaitu kaum muslimin di Makkah)”.[11]

Itulah peristiwa bai’atul ‘Aqabah, itulah piagam yang telah disyahkan dan dialog yang terjadi saat itu, Setelah terjadinya peristiwa bai’atul ‘Aqabah yang kedua ini, yang juga disebut sebagai Bai’atul ‘Aqabah kubra, tekad dan semangat hijrah Rasulullah sudah semakin mantap.

Umar bin Khaththab berpendapat bahwa peristiwa hijrah adalah peristiwa yang sangat penting dalam rangka menyebarluaskan ajaran Islam. Karena itu peristiwa hijrah inilah yang dijadikan sebagai perhitungan tahun, sehingga bernama “tahun hijriyah”[12]

Hijrah Pada Masa Kini
Apa yang dialami oleh Rasulullah dan para sahabat dalam menegakkan dan menyebarkan Islam, tentu saja berbeda dengan yang dialami ummat masa kini. Jika Rasulullah melakukan hijrah secara fisik, hijrah lahiriyah, sekarang yang diperlukan adalah hijrah maknawiyah. Hijrah maknawiyah jika dijabarkan minimal mengandung hal-hal sebagi berikut:
  • Hijrah dari kemaksiatan menuju kebaikan
  • Hijrah dari larangan-larangan Allah menuju yang di ridhai-Nya
  • Hijrah dari kemunafikan kepada kejujuran
  • Hijrah dari hal-hal yang kurang menuju kesempurnaan
  • Hijrah dari akhlak madzmumah menuju akhlak mahmudah,

Rasulullah r bersabda:

المُهَاجِرُ مَنْ هَاجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ

“Orang-orang yang berhijrah adalah orang yang berpindah dari apa-apa yang dilarang Allah”.[13]

Berangkat dari perbedaan antara hijrah lahiriyah dan hijrah maknawiyah, kalau dicari titik temu sesungguhnya sama-sama dalam rangka menegakkan agama Allah. Terkadang sebelum melakukan hijrah maknawiyah, seseorang harus melakukan hijrah lahiriyah untuk mencari lingkungan yang berbeda dengan sebelumnya.

Dalam rangka menegakkan hijrah maknawiyah, harus didahului jihad (perjuangan) Rasulullah bersabda:

المُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِى طَاعَةِ اللهِ

“orang-orang yang berjuang adalah orang-orang yang melawan hawa nafsunya dalam mentaati perintah Allah”[14]. Hadits ini mengisyaratkan beberapa hal: Sebelum berjuang menghadapi kemaksiatan yang ada di luar diri, lebih dulu harus berjuang menghadapi apa yang ada di dalam diri sendiri

Perjuangan harus dilakukan secara bertahap dan kontinuitasnya tetap terpelihara. Jika perjuangan terhadap apa yang ada di dalam dirinya sendiri tidak mampu dilakukan, mustahil berjuang melawan yang ada di luar diri akan berhasil. Setelah berjihad baru berhijrah, hijrah dari kemaksiatan dan datang untuk mentaati Allah. Orang-orang yang beriman selalu waspada dalam menghadapi perubahan zaman, jika tidak mau terperangkap pada romantisme masa lalu. Wallâhu a’lam bi al-Shawwâb.Oleh: Jamroni, Drs., MSi


Marâji’
  1. Al-Mubarakfurî, Syaikh Syafiyur Rahman. 1997. Al-Rahiqil Makhtum, Bahtsun Fi al-Sirah al-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish Shalati Wa al-Salam, terj. Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
  2. Al-Nadwî, Bul Hasan Ali Al Hasani. 1983. Al-Shirah Nabawiyah, terj. Bey Arifin dan Yunus Ali Mahdiar. Surabaya: PT Bina Ilmu
  3. Al-Syarqawi, Abdurrahman. 1997. Muhammad Rasulul Hurriyah, Terj. Ilyas Siraj Muhammad Sang Pembebas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  4. Madjid, Nurcholish. 1995. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
  5. Rahim, Abdur. 1999. Kalender Hijriyah, al-Islamiyah, Media LPPAI Universitas Islam Indonesia, Nomor 6 tahun VIII Mei 1999
  6. Shihab, Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
  7. Qardhawi,Yusuf. 1988. Waktu dalam Kehidupan Muslim, terj Makmun Abdul Aziz, Jakarta: Yayasan Al-Amanah

http://nuraiman.wordpress.com/2008/03/11/latar-belakang-rasulullah-saw/ diakses pada 1 Oktober 2013, pukul 15:15 WIB

[1] Bul Hasan Ali Al Hasani al-Nadwî, Al-Shirah Nabawiyah, terj. Bey Arifin dan Yunus Ali Mahdiar, Suarabaya: PT Bina Ilmu, 1983.
[2] Syaikh Syafiyur Rahman al-Mubarakfurî, al-Rahiqil Makhtum, Bahtsun Fi al-Sirah al-Nabawiyyah Ala Shahibiha Afdhalish Shalati Wa al-Salam, terj. Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997, hlm. 213
[5] Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1995. hlm. 112
[6] Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1992, hlm. 346
[7] Abdurrahman al-Syarqawi, Muhammad Rasulul Hurriyah, Terj. Ilyas Siraj, Muhammad Sang Pembebas,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. hlm. 130
[8] Yusuf Qardhawi, Waktu dalam Kehidupan Muslim, terj Makmun Abdul Aziz, Jakarta: Yayasan al-Amanah, 1988.
[9] Maksudnya orang-orang kafir telah sepakat hendak membunuh Nabi r, Maka Allah memberitahukan maksud jahat orang-orang kafir itu kepada Nabi. Karena itu Maka beliau keluar dengan ditemani oleh abu bakar dari Makkah dalam perjalanannya ke Madinah beliau bersembunyi di suatu gua di bukit Tsur.
[10] Abdur Rahim, “Kalender Hijriyah”, al Islamiyah, Media LPPAI Universitas Islam Indonesia, Nomor 6 tahun VIII Mei 1999, hlm. 11
[11] Ibnu Sa’di, Thabaqatul qubra. 3: 305


[12] Syaikh Syafiyur Rahman al Mubarakfury, al-Rahiqil Makhtum., hlm. 199


[13] Shahih Bukharî. Hadits no 9: 10 , HR dari Abdullah bin Amr, disebutkan juga dalam hadits 6484, dalam riwayat Abu Dawud hadits no 2481


[14] Jami’u al-Tirmidziy, hadits. 1621, disebutkan dalam Musnad Ahmad bin Hambal hadits no 27724

Tidak ada komentar: