Pada masa ini banyak yang berhaji, tetapi
banyak pula dari mereka yang berhaji membiarkan tetangganya dalam
keadaan lapar yang sangat karena keterbatasan materi, mana nilai
keadilan dan kesetaraan dari ibadah haji yang dilakukannya? Banyak yang
thawaaf di Ka’bah, tetapi hanya untuk popularitas nama tanpa membawa
upaya-upaya perubahan sosial yang lebih positif, mana bentuk nilai
tanggung jawab dari ibadah haji yang mereka lakukan? Banyak yang berdoa
dengan khusyuk ketika wukuf di Arafah, tetapi khusyuk pula menggunjing
sana-sini, dimana bentuk nilai moralitas dari ibadah haji yang
dilakukannya?
Berangkat dari keinginan menyempurnakan suatu ajaran dogmatis, umat
Islam berlomba lomba agar ia dapat menjalankan rukun Islam yang terakhir
yaitu Haji. Berbagai cara dilakukan untuk dapat menyandang gelar
“Muslim Kamil” karena telah sempurna menjalankan semua rukun yang
menjadi tolak ukur mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia. Hal ini
merupakan suatu keniscayaan bagi umat Islam (khususnya di Indonesia)
mengingat konteks haji dalam masyarakat kita bukan lagi sekedar
riitualisasi keagamaan, tetapi sudah menjadi trend bagi sebagian
kalangan untuk menjadikan haji sebagai penunjang kelancaran aktifitasnya. Contoh saja pencalonan gubernur, walikota, bupati ataupun
pemimpin-pemimpin yang lainnya kurang perfect sepertinya jika tidak
berembel-embelkan “H” pada awal namanya, kurangnya self confident jika
baleho kampanye yang menampakkan gambar wajah dan namanya belum bergelar
“Haji”. Mungkinkah makna ritual ibadah haji pada masa ini mengalami
alterasi negatif seiring dengan mudahnya akses menuju Makkah? Ataukah
mereka memang belum dapat memaknai simbol-simbol dibalik ritualisasi
ibadah haji?
Haji secara tekstual disyariatkan oleh Allah kepada seluruh umat
Islam yang “mampu” menjalankannya, sekali lagi yang “mampu”
menjalankannya. Apakah mampu disini hanya sekedar materi? Tidak, tetapi
juga harus mampu secara fisik. Apakah hanya mampu secara materi dan
fisik? Tidak, ada sesuatu lagi yang lebih urgen yaitu menyelami makna
ruh dari ritualisasi ibadah haji itu sendiri, hingga mampu diaplikasikan
dalam kehidupan dan membawa perubahan sosial kearah yang lebih baik.
Mayoritas warga Indonesia saat ini hanya bersifat individualistik
dalam melaksanakan haji, yang penting saya mampu berangkat haji dengan
melalui tata tertib yang ada, sudah barang tentu saya dijamin oleh Allah
sebagaimana hadits nabi “Al-hajju l-mabruru laysa lahu jaza’un illa
l-jannata”, imbalan bagi haji yang mabrur tidak lain adalah surga. Lalu
setelah kepulangan para Jama’ah haji, yang dibawa hanyalah buah tangan
materi tanpa ada upaya untuk mengaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Seharusnya ibadah seperti inilah yang dihujat lebih keras, dan sama
rancunya dengan kunjungan dewan ke luar negri dalam upaya perumusan RUU
kemiskinan. Bahkan mungkin lebih buruk lagi.
Ritualisasi dalam ibadah haji telah dilakukan oleh bangsa Arab jauh
sebelum Rasulullah lahir, tetapi dengan tata cara dan nilai-nilai yang
berbeda tentunya. Ibadah haji setelah kenabian Muhammad telah dirubah
filsafat dan nilai-nilainya dengan penambahan makna atau ruh yang
terkandung dalam ritual tersebut, juga dengan mereduksi ritual-ritual
yang tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Oleh karena itu
seharusnya para jama’ah haji memahami makna simbolik dibalik ritual
ibadah haji. Misalnya bermalam di Mina dan wukuf merupakan suatu ibadah
yang mengingatkan kita akan kesetaraan dan keadilan ummat manusia, ummat
Islam ketika itu memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah dan
memiliki kesempatan yang sama pula untuk dikabulkannya do’a oleh sang
pemilik pencipta semesta tanpa memandang rasis ataupun jabatan. Tata
tertib dan aturan ibadah haji (seperti tidak diperkenankan membunuh
hewan, larangan bersetubuh dll) menjadi simbol ajaran moral dan tanggung
jawab individu seorang muslim.
Nah ajaran tentang nilai universal Islam inilah (keadilan,
kesetaraan, moralitas, tanggung jawab individu) yang melandaskan ritual
ibadah haji secara simbolik. Sayangnya, ruh dari ritual simbolik itu
tadi kurang diserapi oleh sebagian jama’ah haji. Pada masa ini banyak
yang berhaji, tetapi banyak pula dari mereka yang berhaji membiarkan
tetangganya dalam keadaan lapar yang sangat karena keterbatasan materi,
mana nilai keadilan dan kesetaraan dari ibadah haji yang dilakukannya?
Banyak yang thawaaf di Ka’bah, tetapi hanya untuk popularitas nama tanpa
membawa upaya-upaya perubahan sosial yang lebih positif, mana bentuk
nilai tanggung jawab dari ibadah haji yang mereka lakukan? Banyak yang
berdoa dengan khusyuk ketika wukuf di Arafah, tetapi khusyuk pula
menggunjing sana-sini, dimana bentuk nilai moralitas dari ibadah haji
yang dilakukannya?
Ibadah haji telah mengalami pergeseran makna bagi masyarakat
Indonesia pada saat ini. Cobalah kita menengok sedikit kepada
tokoh-tokoh terdahulu, HOS Tjokroaminoto, KH.Ahmad Dahlan, KH.Hasyim
Asy’ari dan lainnya, yang setelah kepulangan mereka dari tanah kelahiran
Islam tersebut melakukan gebrakan sosial dengan upaya membawa
masyarakat kepada kehidupan yang lebih positif. Ka’bah, Makkah dan
Madinah dapat menjadi objek inspiratif untuk memperbaiki masyarakat,
bukan dijadikan sekedar objek intuitif untuk berlatih mengucurkan air
mata. Sebagian mereka menangis di depan Ka’bah, tetapi di sini mereka
membiarkan kaum minoritas tertindas menangis dengan sumpah serapah.
Sebagian mereka berdo’a banyak ketika wukuf di Arafah, tetapi disini
mereka mengumpulkan harta dengan serakah.
Ibadah haji seperti ini hanya menghambur-hamburkan harta dan
memperkaya Negara yang sudah kaya. Mengapa harus menghujat beberapa
aliran yang tidak mewajibkan berhaji ke Makkah, sementara yang mampu
beribadah sungguhan ke Makkah tidak lebih baik dari mereka. Ritual dalam
ibadah haji seharusnya adalah ibadah sosial, tetapi jika haji telah
mengalami alterasi seperti ini, maka haji hanya sekedar ritual
materialistik bagi kaum materialis. Semoga Allah menjauhkan kita dari
haji yang semacam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar