Naskah Pidato Pembaruan Islam di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 8 Juli 2011
Darimana penegasan pembaruan pemikiran Islam ini mesti dimulai. Tentu
pertama-tama dengan cara membenahi cara pandang kita terhadap
al-Qur’an, mengerti pokok-pokok risalah kenabian, lalu mengambil sikap
yang tepat dalam menghadapi khazanah pemikiran dan karya para ulama
terdahulu, serta benar dalam mendudukkan akal dan memfungsikannya dalam
proses penafsiran wahyu.
Pengantar
Pokok-pokok pembaruan pemikiran Islam penting ditegaskan, karena
beberapa hal. Pertama, di tengah situasi zaman yang kian kompleks, kita
tak cukup hanya bersandar pada pikiran-pikiran keislaman lama yang sudah
tak relevan dengan konteks zaman. Sebab, apa yang dirumuskan ulama
terdahulu mungkin telah berhasil memecahkan sejumlah masalah di masa
lalu, tapi belum tentu terampil menyelesaikan masalah di masa kini.
Al-Qur’an membuat metafor menarik mengenai tak abadinya keberlakuan
sesuatu yang lama. Dikisahkan al-Qur’an mengenai perilaku Ashhabul Kahfi
(para pemuda yang tertidur lama dalam gua) yang harus menukar koin,
karena koin lama sudah tak laku lagi. Belajar dari semangat ijtihad para
ulama salaf seperti Imam Syafii, Imam Hanafi, dan lain-lain, kita
memerlukan sejumlah pembaruan di berbagai bidang keislaman.
Kedua, di tengah berbagai usaha yang mengerdilkan al-Qur’an, kita
membutuhkan cara pandang baru terhadap al-Qur’an. Jika sebagian orang
memberikan tekanan yang terlampau kuat pada aspek hukum dalam al-Qur’an,
maka kita harus mendalaminya dengan pemahaman utuh tentang wawasan
moral-etik al-Qur’an. Tak cukup membaca al-Qur’an sekedar untuk
memperoleh kenikmatan kata dan bahasa, kita harus melangkah untuk
membuka cakrawala makna. Jika sebagian orang hanya memposisikan
al-Qur’an berupa deretan huruf dan aksara, maka kita perlu meletakkan
makna al-Qur’an dalam konteks sejarah. Al-Qur’an bukan unit matematis
yang statis, melainkan gerak sejarah yang dinamis. Melalui pemahaman
terhadap konteks kesejarahan al-Qur’an (asbab nuzul wa waqi’iyyah
al-Qur’an) itu, kita menjadi tahu bahwa al-Qur’an tak boleh dilucuti
dari aspek kultural-sosialnya. Di sinilah kita membutuhkan bukan hanya
tafsir baru al-Qur’an, melainkan juga metodologi baru dalam memahami
al-Qur’an.
Ketiga, sejumlah orang hendak menjadikan Islam sebagai ladang
persemaian diskriminasi dan dehumanisasi. Kita menyaksikan kian
tingginya diskriminsi terhadap perempuan, misalnya. Padahal, terang
benderang bahwa diskriminasi berbasis kelamin adalah tidak adil, karena
seseorang tak pernah bisa memilih lahir dengan kelamin apa—laki-laki
atau perempuan. Namun, sebagian orang tetap berpendirian bahwa perempuan
adalah manusia tak sempurna; separuh diri perempuan adalah manusia, dan
separuhnya yang lain merupakan setan yang mengganggu keimanan
laki-laki. Pandangan misoginis ini menghuni sebagian pikiran umat Islam,
dulu dan sekarang.
Diskriminasi dan intimidasi juga mengarah pada kelompok minoritas;
sekte minoritas dan agama minoritas. Sekelompok orang yang
mengatasnamakan sekte mayoritas dan agama mayoritas di negeri ini suka
menempuh jalan kekerasan. Dan kekerasan itu terus meluas dengan
kecepatan api membakar hutan. Sejauh yang bisa dipantau, kekerasan atas
nama agama yang kerap terjadi di Indonesia bukan penghukuman terhadap
orang yang bersalah, tapi lebih merupakan pembantaian terhadap mereka
yang tak berdaya. Bahkan, kecenderungan untuk saling mengkafirkan di
internal Islam makin kuat. Di mana-mana bermunculan “teologi
pemusyrikan”, “teologi pengkafiran”, “teologi penyesatan” terhadap umat
Islam lain. Dari teologi seperti ini, maka meletuslah misalnya peristiwa
Cikeusik Banten. Di Cikeusik, kematian datang sebagai manifestasi
keberingasan tafsir agama. Dalam kaitan itu, kita perlu menyusun teologi
yang inklusif-pluralis, bukan yang diskriminatif dan intimidatif.
Keempat, “perang” telah mendominasi diskursus umat Islam belakangan.
Bahwa pedang harus dihunus dan pistol segera ditembakkan pada
orang-orang yang sudah didefinisikan menyimpang dan memusuhi Allah.
Frase “murka dan kemarahan Allah” (ghadlab Allah) yang ada dalam Islam
digunakan untuk membenarkan metode perang seperti pembunuhan massal dan
terorisme. Pandangan seperti ini sekalipun digali dari khazanah
keislaman klasik, saatnya diperbaharui kembali. Sebab, Islam sejatinya
tak menghalalkan pembantaian. Kita tak menyalahkan kucing karena memakan
tikus, atau anjing karena menyerang kucing. Kita mempertanyakan manusia
yang memancung manusia lain. Manusia adalah maha karya Allah. Dan Allah
menghargai manusia begitu rupa (wa laqad karramna bani Adam).
Pertanyaannya darimana penegasan pembaruan pemikiran Islam ini mesti
dimulai. Tentu pertama-tama dengan cara membenahi cara pandang kita
terhadap al-Qur’an, mengerti pokok-pokok risalah kenabian, lalu
mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi khazanah pemikiran dan karya
para ulama terdahulu, serta benar dalam mendudukkan akal dan
memfungsikannya dalam proses penafsiran wahyu.
Pokok Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah. Ia memang berbahasa Arab, tapi yakinlah
bahwa ia tak memiliki hubungan kepemilikan dengan orang Arab. Al-Qur’an
tak identik dengan etnik Arab. Bahasa Arab dipinjam Allah untuk
memudahkan percakapan antara Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril. Allah
sudah berjanji dalam al-Qur’an bahwa Ia tak akan pernah mengirimkan
pesan wahyu kecuali dengan bahasa manusia (seorang nabi) yang kepadanya
ia diwahyukan. Melalui bahasa lokal Arab yang partikular itu, Nabi
Muhammad bisa mengerti pesan universal al-Qur’an. Dan kita yang hidup
sekarang pun bisa ambil bagian dari proses pemaknaan al-Qur’an.
Bentuk teks al-Qur’an telah sempurna, tapi ketahuilah bahwa maknanya
tetap cair. Tak ada interpretasi final terhadap al-Qur’an. Bahkan, salah
satu sumber kebesaran Islam adalah dimungkinkannya keberagaman
pemaknaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Satu ayat ketika sampai pada
orang berbeda selalu terbuka peluang bagi lahirnya produk tafsir yang
berbeda. Itu sebabnya dalam literatur tafsir dikenal beragam jenis
tafsir, yaitu tafsir ‘ilmi (tafsir yang berbasis pada temuan sains),
tafsir fiqhi (tafsir berbasis hukum), tafsir adabi (tafsir bercorak
sastra), tafsir ijtima’i (tafsir berwatak sosial), dan tafsir sufi
(tafsir dengan sentuhan pengalaman spiritual). Dengan perkataan lain,
ada tafsir yang berfokus pada tata bahasa, latar belakang sejarah,
implikasi juridis, ajaran teologis, pendidikan moral, makna alegoris,
dan seterusnya. Menariknya, tafsir generasi yang satu bersifat
independen, tak bergantung pada tafsir generasi lainnya.
Kekayaan bahasa dan keindahan diksi al-Qur’an memungkinkan kita untuk
menginvestigasi makna-makna al-Qur’an. Jika jurisprudensi hukum Islam
fokus pada elaborasi sistematis ajaran-ajaran al-Qur’an mengenai
perbuatan badani manusia (af’al al-mukallafin), maka tasawwuf bergerak
pada wicara batin nurani manusia. Sementara teologi berkutat pada
bagaimana merumuskan dan mengkonseptualisasikan Tuhan seperti yang
dipahami melalui teks-teks al-Qur’an. Para ulama, dari dulu hingga
sekarang, terus mencurahkan seluruh kehidupannya untuk memahami
al-Qur’an. Di ruangan kecil al-Qur’an itu, 30 Juz, para penafsir
berhimpitan untuk menembus “batas” pengertian al-Qur’an.
Penelusuran makna dan kerja menafsirkan al-Qur’an seperti itu
merupakan cara manusia untuk berpartisipasi dalam Firman Tuhan. Bentuk
partsipasi paling bertanggung jawab dalam memaknai al-Qur’an adalah
dengan mengkerangkakannya ke dalam sebuah bangunan metodologi. Para
ulama terdahulu telah menyusun sejumlah metodologi untuk menafsirkan
al-Qur’an. Namun, berbagai pihak menilai bahwa metodologi yang
disuguhkan para ulama terdahulu terlampau rumit, sehingga tak mudah
diakses banyak orang. Persyaratan-persyaratan kebahasaan dan
kemestian-kemestian gramatikal yang ditetapkan para ulama ushul fikih
dalam menafsirkan al-Qur’an misalnya menimbulkan perasaan minder umat
Islam ketika berhadapan dengan al-Qur’an.
Kita memerlukan metodologi sederhana dan ringkas dalam menafsirkan
al-Qur’an, sehingga penafsiran al-Qur’an bisa dilakukan banyak orang.
Misalnya, penting diketahui bahwa Qur’an yang terdiri dari ribuan ayat,
ratusan surat, puluhan fokus perhatian, sekiranya dikategorisasikan
hanya terdiri dari dua jenis. Pertama, ayat fondasional (ushul
al-qur’an). Masuk dalam jenis kategori pertama ini adalah ayat-ayat yang
berbicara tentang tauhid, cinta-kasih, penegakan keadilan, dukungan
terhadap pluralisme, perlindungan terhadap kelompok minoritas serta yang
tertindas. Saya berpendirian bahwa ayat fondasional seperti itu tak
boleh disuspendir dan dihapuskan. Meminjam sebuah peribahasa, ayat ushul
tak akan lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Ia bersifat abadi
dan lintas batas—batas etnis juga agama. Tak ada agama yang datang
kecuali untuk mengusung pokok-pokok ajaran fondasional itu.
Kedua, ayat partikular (fushul al-Qur’an). Ayat al-Qur’an yang
tergabung dalam jaringan ayat partikular adalah ayat yang hidup dalam
sebuah konteks spesifik. Sejumlah pemikir Islam memasukkan ayat jilbab,
aurat perempuan, waris, potong tangan, qisas, ke dalam kategori ayat
fushul. Tahu bahwa ayat itu bersifat partikular-kontekstual, maka umat
Islam seharusnya tak perlu bersikeras untuk memformalisasikannya dalam
sebuah perangkat undang-undang. Sebab, yang dituju dari sanksi-sanksi
hukum dalam al-Qur’an misalnya adalah untuk menjerakan (zawajir), bukan
yang lain. Yang menjadi perhatian kita adalah tujuan hukum dan bukan
hurufnya [al-‘ibrah bi al-maqashid al-syar’iyah la bi al-huruf
al-hija’iyyah]. Jika dengan hukum penjara, tujuan hukum sudah tercapai,
maka kita tak perlu untuk kembali ke bentuk hukum lama.
Ketika belajar kitab fikih di pesantren, saya tahu bahwa bab yang
paling jarang dikunjungi para ustadz dan santri yang mengaji adalah bab
tentang hukum pidana Islam (bab al-jinayat). Mungkin para ustadz itu
telah menyadari bahwa sebagian besar hukum pidana Islam sudah tak cocok
dengan kondisi sekarang. Ormas besar Islam Indonesia seperti NU dan
Muhammadiyah pun tak pernah mengusulkan pemberlakuan hukum pidana Islam.
Mereka tahu bahwa kita sudah hidup di abad 21. Semangat zaman telah
memaksa kita untuk meninggalkan sanksi-sanksi hukum primitif yang brutal
seperti hukum pancung, dan lain-lain.
Kategorisasi ayat seperti itu kiranya bisa membantu umat Islam dalam
memahami pesan dasar al-Qur’an. Bahwa dalam al-Qur’an, ada ayat yang
tetap-tak berubah (al-tsawabit) dan ada ayat yang maknanya sangat
kontekstual; tidak tetap dan lentur (al-mutaghayyirat). Yang tetap, kita
dogma-statiskan. Sementara, terhadap yang al-mutaghayyirat, kita
dinamisasi dan kontekstualisasikan. Di lingkungan para pengkaji Islam,
upaya itu dikenal dengan istilah “tatsbit al-tsawabit wa taghyir
al-mutaghayyirat”. Dengan perkataan lain, kita tak boleh mendogmakan
yang kontekstual, dan mengkontekstualkan yang tak tetap (tatsbit
al-mutaghayyirat wa taghyir al-tsawabit).
Risalah Kenabian
Umat Islam diperintahkan membaca dua kalimah Syahadat. Syahadat
pertama (asyhadu an la ilaha illa Allah) adalah syahadat primordial.
Yaitu janji awal kita untuk bertuhan hanya kepada Allah Yang Esa, bukan
kepada yang lain, sebagaimana dipaparkan ayat “alastu bi rabbikum qalu
bala syahidna”. Sementara syahadat kedua (wa asyhadu anna Muhammadan
Rasulullah) adalah syahadat komunal. Pada syahadat pertama, umat Islam
dengan umat agama lain bisa berjumpa. Sementara, pada syahadat kedua,
umat Islam dengan umat agama lain bisa berpisah. Itu berarti kita tak
bisa memaksa umat agama lain agar meyakini dan mengakui kenabian
Muhammad SAW dan meyakini detail syariat yang dibawanya. Bagi saya, soal
mengakui atau tak mengakui kenabian dan detail syariat Muhammad SAW
lebih merupakan soal mereka, dan bukan soal kita (umat Islam).
Namun, ingatlah bahwa Islam adalah agama yang sangat terbuka. Dalam
hadits Nabi yang kemudian menjadi dasar penetapan rukun iman, umat Islam
diperintahkan untuk mengimani seluruh nabi-nabi dan utusan Allah.
Sejumlah riwayat menuturkan bahwa tak kurang dari 124 ribu nabi yang
dikirim Allah dan 313 rasul yang diutus ke bumi. Jika tak bisa
mengetahui seluruh rasul Allah, umat Islam diperintahkan untuk mengimani
25 rasul yang nama-namanya sudah tercantum dalam al-Qur’an. Rasulullah
diperintahkan untuk berkata, “aku bukanlah yang pertama dari deretan
rasul-rasul Allah” (ma kuntu bid’an min al-rusul). Nabi Muhammad hanya
salah satu dari ribuan nabi-nabi itu.
Sebagian ajaran yang dibawa Nabi Muhammad ada yang baru, dan
sebagiannya yang lain lebih merupakan pengembangan dan modifikasi dari
ajaran para nabi sebelumnya. Allah berfirman, “inna hadza lafi al-shuhuf
al-ula shuhuf Ibrahim wa Musa” [sesungguhnya pokok-pokok ajaran moral
al-Qur’an sudah ada dalam mushaf-mushaf yang pertama, yaitu Mushaf Nabi
Ibrahim dan Mushaf Nabi Musa]. Jika kita ringkaskan, risalah kenabian
yang dibawa Nabi Muhammad (mungkin juga para nabi lain) adalah sebagai
berikut:
Pertama, risalah kenabian adalah risalah tauhid, bukan risalah
syirik. Semua nabi, termasuk Nabi
Muhammad, membawa ajaran tauhid. Bahwa
Tuhan yang kita sembah adalah Allah Yang Esa. Tetapi, yang problematik
selalu pada tingkat konseptualisasinya. Yahudi, Kristen, dan Islam
berbeda dalam merumuskan soal ke-Esa-an Allah. Di internal Islam sendiri
terdapat perbedaan amat tajam antara Mu’tazilah, Asy’ariyah, juga
Maturidiyah dalam menjelaskan Esanya Allah. Bahkan, Imam Asy’ari
(peletak dasar teologi Sunni) dan Asya’irah (pengikut Imam Asy’ari)
berbeda pandangan dalam menjelaskan sifat dan dzat Allah.
Saya meyakini bahwa Allah Yang Esa dan Yang Mutlak tak mungkin
dijelaskan oleh manusia yang relatif. Karena itu, diperlukan
kerendah-hatian dari setiap manusia untuk tak mengabsolutkan konsep
ketuhanannya. Kita mesti belajar untuk tak jadi manusia yang menganggap
diri selalu benar. Amat berbahaya sekiranya setiap orang mengklaim bahwa
rumus ketuhanan versi dirinya adalah yang paling benar. Itu bukan hanya
menunjukkan kepongahan si perumus, melainkan juga telah mengecilkan
kebesaran Allah yang tak berhingga itu. Definisi manusia tentang Allah
Yang Esa sesungguhnya lebih merupakan fantasi dan imajinasi manusia
tentang Yang Esa, dan bukan Yang Esa itu sendiri. Bagi saya, Tuhan Yang
Esa tetaplah Allah yang tak terungkap dan tak terjelaskan (kanzan
makhfiyan). Gabungan konsep ketuhanan tak mungkin bisa menembus tirai
kegaiban ketuhanan.
Kedua, risalah kenabian adalah risalah kemanusiaan, bukan risalah
pembantaian. Setiap nabi lahir untuk menegaskan pentingnya penghargaan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu poin dalam Khutbah Wada’
Nabi Muhammad yang terkenal itu adalah penegasannya untuk menghargai
manusia. Ia berkata, inna dima’akum wa amwalakum wa a’radlakum haramun
‘alaikum kahurmati yawmikum hadza wa baladikum hadza wa syahrikum hadza.
Tak boleh ada darah yang tumpah serta martabat yang ternoda. Karena
itu, saya tak mengerti jika ada sekelompok orang yang mengaku sebagai
pengikut Nabi Muhammad tiba-tiba membantai pengikut Nabi Muhammad yang
lain. Tak ada alasan jihad fisabilillah dibalik rentetan kekerasan atas
nama agama di Indonesia.
Jihad disyariatkan untuk merawat kehidupan bukan untuk menyongsong
kematian. Zainuddin al-Malibari menegaskan bahwa membantu sandang,
pangan, dan papan orang miskin adalah bagian dari jihad. Jamal al-Banna,
pemikr Islam dari Mesir, dalam bukunya al-Jihad mengatakan, anna
al-jihad al-yawm laysa huwa an namuta fi sabilillah wa lakin an nahya fi
sabilillah (jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah, melainkan
untuk hidup di jalan Allah). Dengan perkataan lain, jihad adalah
tindakan menghidupkan dan bukan mematikan. Al-Qur’an menegaskan bahwa
barang siapa membunuh satu jiwa sama dengan membunuh semua jiwa. Dan
barang siapa menghidupkan satu jiwa, sama dengan menghidupkan semua
jiwa. Itulah sendi ajaran Islam yang menjunjung kemanusiaan. Tuhan
menciptakan manusia secara berbeda-beda agar mereka saling mengakui dan
memahami (li ta’arafu), bukan untuk saling membasmi.
Perbedaan keyakinan dan agama pun bukan alasan untuk merendahkan
kemanusiaan seseorang. Apalagi untuk membunuh. Sebab, soal keyakinan
adalah soal individual antara manusia dengan Tuhannya. Dan Allah memberi
kebebasan penuh bagi manusia untuk memilih suatu agama atau keyakinan.
La ikraha fi al-din (tak ada paksaan dalam soal agama). Dengan demikian,
orang yang membunuh umat agama lain hanya karena soal perbedaan agama
sesungguhnya telah melanggar risalah kemanusiaan yang dibawa Nabi
Muhammad. Sejarah menunjukkan hubungan harmonis antara Nabi Muhammad
dengan para tokoh agama lain. Mulai dari kebiasaan tukar menukar hadiah
antara Nabi Muhammad dan Muqauqis (raja Iskandariah Mesir) yang Kristen
sampai kepada keikutsertaan Mukhairiq (tokoh Yahudi Madinah) dalam
Perang Uhud bersama Nabi. Bahkan, dalam al-Qur’an ada pengkuan bahwa
orang yang paling enak dijadikan sebagai sahabat atau teman adalah
orang-orang Nashrani. [wa latajidanna aqrabahum mawaddatan li alladzina
amanu alladzina qalu inna nashara].
Ketiga, traktat kenabian adalah traktat etik dan bukan traktat
politik. Said al-Asmawi berkata bahwa Allah menghendaki Islam sebagai
agama, tapi para pemeluknyalah yang membelokkannya menjadi
politik-siyasah [inna Allah arada al-Islam diynan wa arada bihi al-nas
an yakuna siyasatan]. Itu sebabnya tak ada perintah eksplisit dalam
al-Qur’an agar Nabi Muhammad mendirikan sebuah negara. Tak ada cetak
biru pemerintahan dalam Islam. Nabi Muhammad melalui hadits-haditsnya
tak juga mengintroduksi jenis pemerintahan tertentu. Pengelolaan
pemerintahan Madinah adalah improvisasi politik sementara Nabi Muhammad
ketika pengaturan jenis pemerintahan yang ideal dan efektif belum
ditemukan. Sebab, untuk urusan duniawi, dengan terus terang Nabi
Muhammad mengaku ketak-cakapan dirinya. Nabi bersabda, “antum a’lamu
minni bi umuri duniyakum” [engkau lebih tahu tentang urusan duniawi
kalian].
Dengan demikian, berdirinya negara Indonesia yang berjangkar pada
Pancasila dan UUD 1945 tak bertentangan dengan risalah kenabian.
Indonesia memang tak dirancang sebagai negara Islam. Tapi, bukankah di
negara ini, umat Islam bebas menjalankan ajaran agama Islam. Tak pernah
ada halangan bagi umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam. Umat
Islam boleh melaksanakan shalat; dimana saja, kapan saja, dan berapa
saja. Mau puasa sepanjang masa, tak dilarang. Umrah berkali-kali juga
boleh. Memakai jilbab, berjenggot lebat, bercelana di atas tumit, pun
tak ada hambatan. Kebebasan umat Islam dalam menjalankan ajaran agama
bahkan tafsir-tafsir keagamaan ini menyebabkan tak dibutuhkannya upaya
formalisasi syariat Islam. Memformalisasikan ajaran yang sudah hidup dan
lama terpraktekkan dalam masyarakat adalah buang-buang energi dan
tindakan sia-sia.
Sikap terhadap Karya Lampau
Umat Islam selalu menunjukkan keterkaitannya pada masa lalu. Tumpukan
kitab kuning peninggalan intelektual ulama terdahulu tak susut bahkan
makin meninggi di lembaga-lembaga pendidikan Islam Indonesia. Pesantren
sebagai lembaga tafaqquh fi al-din di Indonesia intensif mengajarkan,
juga mendiskusikan, hasil karya para ulama salaf. Kreasi intelektual
para ulama klasik itu telah menjadi sokoguru intelektual ulama
Indonesia, dari dulu hingga sekarang. Bahkan, keulamaan seseorang
belakangan amat ditentukan apakah yang bersangkutan memiliki kemampuan
mengakses kitab kuning atau tidak. Secara berseloroh, sebagian teman
berkata; sekiranya di rak buku seseorang kita temukan jejeran kitab
kuning, maka pastilah ia seorang ulama. Sebaliknya, jika lemari buku
seseorang penuh dengan “kitab putih”, maka yang bersangkutan tak mungkin
disebut ulama.
Pertanyaannya, bagaimana seharusnya kita memperlakukan khazanah
keislaman klasik itu? Pertama-tama, mestilah disadari bahwa sebuah karya
intelektual tak lahir dari ruang kosong. Ia muncul dari sebuah konteks.
Konteks keindonesiaan kita hari ini tak sama dengan konteks ketika
karya ulama salaf itu disusun. Karena itu, tak bijaksana kalau kita
terus memobilisasi pandangan keislaman lama yang tak relevan untuk
memecahkan problem masa kini. Kita tak mungkin mengcopy
pemikiran-pemikiran lampau yang berlangsung di kawasan Timur Tengah
untuk diterapkan di Indonesia, tanpa proses kontekstualisasi bahkan
modifikasi. Yang bisa kita lakukan adalah menangkap spiritnya dan tak
melulu memperhatikan teksnya.
Karya para ulama klasik bukan wahyu, melainkan tafsir atas wahyu. Ia
merupakan produk ijtihad. Persoalan siapa yang merumuskannya, untuk
kepentingan apa, dalam kondisi sosial yang bagaimana dirumuskan, serta
lokus geografis seperti apa, dengan epistemologi apa akan cukup besar
pengaruhnya dalam proses pembentukan sebuah karya. Karena itu seharusnya
kita meletakkan sebuah pemikiran dalam susunan konfigurasinya saat
pemikiran itu diproduksi di satu sisi, dan dalam konteks
epistemologisnya di sisi lain. Mengetahui konteks-konteks tersebut bukan
hanya penting bagi pengayaan pengetahuan sejarah sosial suatu
pemikiran, melainkan juga berguna untuk kebutuhan kontekstualisasi
pemikiran lama atau bahkan penyusunan pemikiran keislaman baru, yaitu
jenis pemikiran yang bertumpu pada problem-problem kemanusiaan dan
kondisi obyektif masyarakat Indonesia.
Kedua, kita mesti memilah-milih antara teks yang relevan dan yang tak
relevan. Kita tak bisa mengawetkan tafsir-tafsir lama yang cenderung
menistakan perempuan dan umat agama lain. Kita tak mungkin
mempertahankan pandangan ulama yang melarang perempuan menjadi pejabat
publik atau menghalalkan penumpahan darah umat agama lain. Tafsir yang
demikian tak boleh mendominasi percakapan intelektual kita hari ini.
Betapun canggihnya sebuah pemikiran jika berujung pada tindak kekerasan,
maka ia batal dengan sendirinya. Karena itu, sekiranya mungkin, kita
perlu mencari tafsir lama lain yang lebih mengapresiasi perempuan dan
menghargai umat lain. Jika tak mungkin, kita seharusnya memproduksi
tafsir baru yang memanusiakan kaum perempuan dan menghargai umat
non-Muslim.
Sementara pandangan lama yang masih relevan dan masih bisa kita
resepsi untuk memuluskan jalan bagi dialog dan kerja sama agama-agama di
Indonesia di antaranya adalah pandangan Muhyiddin Ibn Arabi. Ketika
para ahli fikih bersilang-sengketa mengenai kedudukan non-Muslim di
negeri mayoritas Muslim, Ibn Arabi melangkah jauh dengan mengintroduksi
agama cinta. Perbedaan-perbedaan di ranah eksoterik fikih ini luluh
dalam agama cinta Ibn Arabi. Salah satu deretan bait puisinya adalah:
Aku pernah menyangkal sahabatku
karena agamaku tak sama dengan agamanya
karena agamaku tak sama dengan agamanya
(Kini) hatiku telah terbuka
Menerima semua bentuk (agama)
Padang rumput bagi rusa,
Rumah untuk berhala-berhala
Menerima semua bentuk (agama)
Padang rumput bagi rusa,
Rumah untuk berhala-berhala
Gereja bagi para pendeta,
Ka`bah untuk orang tawaf
Papan-papan Taurat
Lembar-lembar Qur’an
Ka`bah untuk orang tawaf
Papan-papan Taurat
Lembar-lembar Qur’an
Aku mereguk agama cinta
Kemana pun dia menuju
Cinta kepada-Nya
adalah agama dan keyakinanku
Kemana pun dia menuju
Cinta kepada-Nya
adalah agama dan keyakinanku
Lewat tasawwuf-falsafinya, Ibn Arab membuka tirai dan menghapus sekat
di antara para pemeluk agama yang berbeda. Sebagaimana Ibn Arabi,
Jalaluddin Rumi menyuarakan pendapat serupa. Bahwa visi pokok ajaran
agama adalah cinta dan kasih. Kerap diceritakan bahwa di antara
murid-murid Rumi terdapat orang-orang Nashrani dan Yahudi. Apa yang
dirintis Ibn Arabi dan dilakukan Rumi adalah jalan untuk menampilkan
keramahan agama. Itu senafas dengan teks agama yang menggambarkan
ketak-terbatasan rahmat dan kasing sayang Allah. Teks itu berbunyi, ”wa
rahmati wasi’at kulla sya’in” [sesungguhnya kasih sayang-Ku melampaui
semua hal].
Introduksi agama cinta di saat kekerasan datang bertubi-tubi adalah
oasis. Kita ingin mengembalikan Islam kepada semangat dan khittah
awalnya sebagai agama cinta bukan agama prasangka. Agama yang
terus-menerus dikampanyekan dengan jalan teror dan kekerasan akan
kehilangan simpati dari pemeluk agama itu, apalagi dari orang lain.
Sementara agama yang direklamekan dengan cinta, maka ia akan mengundang
selera.
Sejarah agama-agama menunjukkan perihal naik dan turunnya pamor satu
agama. Bahkan, ada agama yang telah ribuan tahun hidup kemudian sirna
ilang kerta ning bumi. Pasti ada banyak faktor kenapa agama-agama itu
tak lagi diminati dan tak dipilih masyarakat. Di samping karena
ketidak-mampuan agama untuk beradaptasi dan bernegosiasi dengan
lingkungan sosial baru, faktor para juru kampanye yang suka menebar
tafsir kebencian dan menghalalkan kekerasan akan turut memerosokkan
reputasi agama itu.
Islam telah berumur 1500-an tahun. Ia akan tetap abadi dan diminati
sekiranya ditopang dengan tafsir-tafsir keislaman yang pro-perdamaian,
bukan pro-kekerasan. Tafsir-tafsir lama yang pro-kekerasan dan tak
menghargai nilai-nilai kemanusiaan tak mungkin kita lestarikan. Namun,
tafsir-tafsir terdahulu yang pro-perdamaian pastilah akan tetap berguna
buat tegaknya Islam yang ramahtan lil alamin. Terhadap karya ulama
terdahulu yang pro-pluralisme dan perdamaian, berlaku kaidah,
”al-Muhafadlah ’ala al-qadim al-shalih wa al-alkhdzu bi al-jadid
al-ashlah” [memelihara yang lama yang masih maslahat dan mengambil yang
baru yang lebih maslahat].
Posisi Akal
Ajaran Islam tak ditujukan kepada anak-anak, melainkan kepada manusia
dewasa yang memiliki kemampuan rasional utuh. Dengan akalnya manusia
bisa menentukan yang baik dan yang tidak. Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi
pernah berkata, “Wahai saudara, engkau adalah pikiran itu sendiri,
dirimu selebihnya bukanlah apa-apa kecuali otot dan tulang”. Menurut
Ibnu Bajjah, berfikir adalah fungsi tertinggi manusia. Berfikir akan
mengantarkan manusia berjumpa dengan Tuhan sebagai Sang Akal Aktif. Ibnu
Thufail dalam novel filsafatnya, Hayy ibn Yaqzhan, mengisahkan seorang
anak yang dibuang ke pulang kosong. Ia diasuh hewan dan dididik alam. Di
tengah rimba itu, dengan akalnya yang masih berfungsi, ia bisa
berfilsafat dan berteologi, dan akhirnya bisa menyatu dengan Tuhan. Apa
yang dikatakan para filosof itu paralel dengan apa yang ditegaskan
al-Qur’an. Bahwa Allah telah mengilhamkan kepada manusia suatu kemampuan
untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk [faalhamaha fujuraha
wa taqwaha].
Akal yang dimiliki manusia merupakan anugerah Allah paling berharga.
Ia tak hanya berguna untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang yang
baik dan yang buruk, tapi juga untuk menafsirkan kitab suci. Tanpa
akal, kitab suci tak mungkin bisa dipahami. Menurut Ibn Rushd, dalam
agama, akal berfungsi untuk menakwilkan kitab suci ketika teks kitab
suci tak bisa dikunyah akal sehat. Sebuah hadits menyebutkan, “al-din
aql la dina li man la aqla lahu” [agama itu adalah akal, tak ada agama
bagi orang yang tak berakal]. Maka benar ketika para ulama menyepakati
bahwa kebebasan berfikir (hifdzl al-‘aql) termasuk salah satu pokok
ajaran Islam (maqashid al-syariah). Dengan demikian seharusnya Islam
lekat dengan kebebasan berfikir. Imam Syafii konon pernah ditanya salah
seorang muridnya tentang tafsir agama yang bertentangaan dengan akal,
maka Imam Syafii memerintahkan untuk mengikuti petunjuk akal, karena
akal punya kemampuan untuk menangkap kebenaran.
Problemnya, kita menghadapi fenomena dan kecenderungan untuk
mendisfungsikan peran dan kemampuan akal. Fenomena ini bisa dilihat dari
dua hal. Pertama, bermunculannya berbagai fatwa keagamaan yang
membingungkan umat menunjukkan betapa tak berfungsinya akal. Mulai dari
haramnya perempuan menyetir mobil, legalisasi perbudakan perempuan,
hingga tak dibolehkannya rebonding. Dalam kasus-kasus seperti ini, akal
tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan hukum. Menurut mereka,
manusia yang hanya mengandalkan akal sembari mengabaikan petunjuk
tekstual-skriptural wahyu tak akan menjadi manusia yang baik. Sonder
petunjuk abjad dan titik koma wahyu, tindakan manusia menjadi tak
terkontrol, hidup permisif, sehingga yang akan muncul adalah sejumlah
kekacauan dan kesemrautan di tengah masyarakat.
Kedua, pada saat yang bersamaan, diciptakanlah sejumlah lembaga
keagamaan yang berfungsi untuk menghukum orang-orang yang dianggap
menggunakan akal secara overdosis. Institusi ini diberi kewenangan
memvonis bahwa seseorang telah menyimpang atau keluar dari Islam.
Sejumlah intelelektual Muslim mendapatkan vonis sesat-menyesatkan dan
kafir dari lembaga-lembaga tersebut. Ujungnya adalah penghalalan darah
yang bersangkutan. Naif, jika di negeri-negeri lain orang berlomba-lomba
untuk menggunakan akal pikiran, maka di negeri-negeri Muslim,
orang-orang masih berlomba untuk mengkafirkan mereka yang menggunakan
pikiran. Ramainya pengafiran disaat orang lain menggunakan pikirannya
tampaknya mendorong Nashr Hamid Abu Zaid untuk menulis buku al-Tafkir fi
Zaman al-Takfir.
Banyak orang yang kini tak berani menggunakan akal pikiran ketika
berhadapan dengan pemikiran keagamaan. Padahal, wahyu al-Qur’an terus
menantang manusia untuk mendayagukanakan akalnya dengan berbagai jenis
ungkapan seperti afala ta’qilun (apakah kalian tidak berfikir), afala
tatadabbarun (apakah kalian tidak merenung), afala yandhurun (apakah
mereka tidak melihat dengan seksama), dan lain-lain. Dalam ushul fikih,
akal diberi kesempatan untuk mensortir dan menyeleksi hukum dalam Islam,
yang dikenal dengan takhsish bi al-a’ql, taqyid bi al-aql, tabyin bi
al-‘aql. Akal diberi otoritas untuk menjelaskan ajaran yang samar,
membatasi keberlakuan hukum yang terlampau umum, mengeksplisitkan
sesuatu yang tersembunyi (implisit) dalam wahyu.
Dengan demikian, wahyu dan akal mestinya saling mempersyaratkan. Yang
satu tak menegasi yang lain bahkan saling mengafirmasi. Akal akan turut
memperkaya wawasan etik wahyu. Sementara wahyu potensial mengafirmasi
temuan kebenaran dari akal. Akal merupakan subyek yang aktif dalam
mendinamisasikan gugusan ide-ide ketuhanan dalam wahyu. Sementara wahyu
adalah tambang yang bisa digali terus-menerus oleh akal manusia. Dengan
perangkat akal yang dimilikinya, manusia kemudian tak hanya berfungsi
sebagai hamba Allah (‘abdullah) melainkan juga sebagai khalifah Allah di
bumi.
Kalau kita percaya pada kisah purba agama, begitu pentingnya
kedudukan manusia sebagai makhluk yang berakal budi di sisi Allah,
sampai-sampai Allah tak mempedulikan sejumlah kritik para malaikat yang
menolak penciptaan manusia. Allah mengacuhkan keberatan malaikat atas
diciptakannya Adam. Allah tetap menciptakan manusia bahkan memikulkan
amanat kepadanya. Kepercayaan Allah dan pemberian amanat kepada manusia
ini bukan tanpa alasan. Sekiranya wahyu Allah tak sampai kepada
sekelompok manusia, maka Allah telah menyiapkan piranti lunak berupa
nurani dan akal budi yang berfungsi sebagai suluh penerang dan penunjuk
jalan. Allah tak akan membebankan kewajiban syariat dan memberikan hak
kepada manusia jika manusia hanya berupa daging, tulang, dan darah.
Dengan nurani dan akal budi yang melekat pada dirinya, maka manusia
pantas memilikul amanat dari Tuhannya.[]
Jakarta, 8 Juli 2011
Oleh Abdul Moqsith Ghazali
Sumber BacaanAbd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Jakarta: KataKita, 2009.
—————(ed.), Ijtihad Islam Liberal, Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL): 2006
Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005.
Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Pustaka, 2000.
Goenawan Mohamad, Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai, Jakarta: KataKita, 2007.
Ibn Arabi, Dzaha’ir al-A’laq: Syarh Tarjuman al-Asywaq, Kairo: Tanpa penerbit, Tanpa Tahun.
Ibn Hisyam, al-Sirah al-nabawiyah, Beirut-Libanon: Dar al-Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1997.
Ibn Rushd, Fashl al-Maqal Fima Bayna al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, Mesir: Dar al-Ma’arif, Tanpa Tahun.
Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqzhan, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun.
Jamal al-Banna, al-Jihad, Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, Tanpa Tahun.
—————, al-Ta’addudiyah fi Mujtama’ Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, Tanpa Tahun.
Jawdat Said, La Ikraha fi al-Din, Damaskus: al-‘Ilm wa al-Salam li al-Diarasat wa al-Nashr, 1997.
Najmuddin al-Thufi, Syarh Mukhtashar al-Rawdhah, Kairo:Mathabi’ al-Syarq al-Awshath, 1989.
Nashr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zaman al-Takfir, Kairo: Dar al-Kutub, Tanpa Tahun.
Sachiko Murata & William C. Chittik, The Vision of Islam, Yogyakarta: Suluh Press, 2005.
Said al-Asymawi, al-Islam al-Siyasi, Kairo: Siyna li al-Nasyr, 1992.
Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibbin, Semarang: Thaha Putera, Tanpa Tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar